A. Konsep Dasar Teknik Desentisisasi Sistematis
Teknik desensitisasi sitematis merupakan salah satu
teknik perubahan perilaku yang didasari oleh teori atau pendekatan behavioral
klasikal. Pendekatan behavioral memandang manusia atau kepribadian manusia pada
hakikatnya adalah perilaku yang dibentuk berdasarkan hasil pengalaman dari
interaksi individu dengan lingkungannya. Perhatian behavioral adalah pada
perilaku yang nampak, sehingga terapi tingkah laku mendasarkan diri pada
penerapan teknik dan prosedur yang berakar pada teori belajar yakni menerapkan
prinsip-prinsip belajar secara sistematis dalam proses perubahan perilaku
menuju kearah yang lebih adaptif. Untuk menghilangkan kesalahan dalam belajar
dan berperilaku serta untuk mengganti dengan pola-pola perilaku yang lebih
dapat menyesuaikan. Salah satu aspek yang paling penting dalam memodifikasi
perilaku adalah penekanannya pada tingkah laku yang didefinisikan secara operasional,
teramati dan terukur.
Menurut sejarah teknik desensitisasi sitematis,
Nietzel dan Berstein (1987) mengemukakan tentang latar belakang teknik ini
antara lain tokoh Watson dan Rayner melihat bahwa rasa takut dipelajari lewat
conditioning, demikian juga sebaliknya rasa takut dapat dihilangkan lewat
counter conditioning-nya. Tahun 1920-an Johannes Schulz, psikolog Jerman,
mengembangkan teknik “Autogenic Training” yang mengkombinasikan diagnosis,
relaksasi dan autosugesti untuk konseli yang mengalami kecemasan. Tahun 1935
Guthrie mengemukakan beberapa teknik untuk menghapus kebiasaan maladaptive
termasuk kecemasan; dengan menghadapkan individu yang mengalami phobia pada
stimulus yang tidak dapat menimbulkan kecemasan secara gradual ditingkatkan ke
stimulus yang lebih kuat menimbulkan ketakutan.
Desensitisasi Sistematis dikembangkan dalam tradisi behavioristik pada awal tahun 1950 oleh Joseph Wolpe.
Desensitisasi Sistematis dikembangkan dalam tradisi behavioristik pada awal tahun 1950 oleh Joseph Wolpe.
Asumsi dasar teknik ini adalah respon ketakutan
merupakan perilaku yang dipelajari dan dapat dicegah dengan menggantikan
aktivitas yang berlawanan dengan respon ketakutan tersebut. Respon khusus yang
dihambat oleh proses perbaikan (treatment) ini adalah kecemasan-kecemasan atau
perasaan takut yang kurang beralasan; dan respon yang sering dijadikan
pengganti atas kecemasan tersebut adalah relaksasi atau penenangan.
Ketidakpekaan dapat dibentuk dengan menunjukkan setiap individu, hal-hal kecil dan bertahap atas situasi ketakutan, saat orang tersebut menunjukkan aktivitasnya yang berlawanan dengan kekhawatirannya. Prinsip dasar desensitisasi adalah memasukkan suatu respon yang bertentangan dengan kecemasan yaitu relaksasi.
Ketidakpekaan dapat dibentuk dengan menunjukkan setiap individu, hal-hal kecil dan bertahap atas situasi ketakutan, saat orang tersebut menunjukkan aktivitasnya yang berlawanan dengan kekhawatirannya. Prinsip dasar desensitisasi adalah memasukkan suatu respon yang bertentangan dengan kecemasan yaitu relaksasi.
B. Karakteristik Teknik Desensitisasi Sistematis
1.
Adapun karakteristik atau ciri-ciri
terapeutik teknik desensitisasi sistematis menurut pendekatan behavioral adalah
:
2.
Merupakan suatu teknik melemahkan respon
terhadap stimulus yang tidak menyenangkan dan mengenalkan stimulus yang
berlawanan (menyenangkan).
3.
Penaksiran objektif atas hasil-hasil
terapi.
4.
Merupakan perpaduan dari beberapa teknik
C. Tujuan Teknik Desensitisasi Sistematis
1.
Tujuan teknik desensitisasi sistematis
adalah:
Teknik desensitisasi sistematis bermaksud mengajar konseli untuk memberikan respon yang tidak konsisten dengan kecemasan yang dialami konseli.
Teknik desensitisasi sistematis bermaksud mengajar konseli untuk memberikan respon yang tidak konsisten dengan kecemasan yang dialami konseli.
2.
Mengurangi sensitifitas emosional yang
berkaitan dengan kelainan pribadi atau masalah sosial.
D. Asumsi Dasar Teknik Desensitisasi Sistematis
Teknik ini dipilih karena merupakan perpaduan dari
teknik memikirkan sesuatu, menenangkan diri dan membayangkan sesuatu dengan
memanfaatkan ketenangan jasmaniah konseli untuk melawan ketegangan jasmaniah
konseli yang bila konseli berada dalam situasi yang menakutkan atau menegangkan
sehingga sangat tepat untuk mengatasi gangguan kecemasan atau yang berhubungan
dengan kelainan pribadi maupun masalah sosial.
E. Relevansi Teknik Desentisiasi Sistematis
Teknik desensitisasi sistematis dalam pelaksanaan
terapinya tidak bisa atau harus menggunakan bantuan teknik lain di antaranya
adalah teknik relaksasi dan teknik modelling. Menurut teknik relaksasi cara
yang digunakan adalah dalam keadaan santai. Stimulus yang menimbulkan kecemasan
dipasangkan dengan stimulus yang menimbulkan keadaan santai. Pemasangan secara
berulang-ulang sehingga stimulus yang semula menimbulkan kecemasan hilang
secara berangsur-angsur. Sedangkan menurut teknik modeling konselor diharapkan
berperan sebagai model atau counter propagandis. Desensitisasi umumnya
digunakan pada klien yang mengalami gangguan kecemasan, akan tetapi sebenarnya
dapat juga digunakan untuk mengurangi kemarahan, mengatasi situasi sedih, dan
berbagai rasa takut serta masalah-masalah sosial.
F. Prinsip Teknik Desensitisasi Sistematis
Berawal dari teori atau pendekatan konseling
behavior focus perubahan tingkah laku terdiri dari 3 kategori, yaitu,
memperkuat tingkah laku, modeling, dan melemagkan tingkah laku.
Dikarenakan teknik desensitisasi sistematis berawal
dari pendekatan behavior, maka prinsip perubahan tingkah laku menurut teknik
ini termasuk di dalam kategori melemahkan perilaku. Hal ini disebabkan,
permasalahan yang bisa diatasi dengan menggunakan teknik desensitisasi
sistematis seperti phobia, anxiety dan lain-lain tidak perlu untuk dihilangkan
sepenuhnya dari diri seseorang. Setiap individu perlu tetap memiliki
perasaan-perasaan seperti takut, cemas asal dalam batasan yang wajar atau
normal. Jika individu tidak memiliki perasaan-perasaan seperti yang disebutkan
di atas maka justru individu akan bermasalah atau tidak normal.
G. Prosedur Teknik desensitisasi Sistematis
1.
Analisis Perilaku yang menimbulkan masalah
(kecemasan/ketakutan)
2.
Menyusun Hierarkhi atau jenjang-jenjang
situasi yang menimbulkan masalah (ketakutan/kecemasan) dari yang kurang hingga
yang paling mencemaskan klien.
3.
Memberi latihan-latihan relaksasi
otot-otot yang dimulai dari lengan hingga otot kaki. Kaki klien diletakkan di
atas bantal atau kain wool. Secara terinci relaksasi otot dimulai dari lengan, kepala,
kemudian leher dan bahu, bagian belakang, perut dan dada, dan kemudian anggota
bagian bawah.
4.
Klien diminta membayangkan situasi yang
menyenangkannya seperti di pantai, di tengah taman yang hijau dan lain-lain.
5.
Klien disuruh memejamkan mata, kemudian
disuruh membayangkan situasi yang kurang mencemaskan. Bila klien sanggup tanpa
cemas atau gelisah, berarti situasi tersebut dapat diatasi klien. Demikian
seterusnya hingga ke situasi yang paling mencemaskan.
6.
Bila pada suatu situasi klien merasa cemas/gelisah,
konselor memerintahkan klien agar membayangkan situasi yang menyenangkan tadi
untuk menghilangkan rasa kecemasan/ketakutan yang baru saja terjadi
7.
Menyusun Hierarki atau jenjang kecemasan
harus bersama klien, dan konselor menuliskannya pada selembar kertas.
Daftar
Pustaka:
Fauzan, L.
(1994). Konseling individual. Malang:
Elang Mas.
Rahmawati,
H. (2009). Modifikasi perilaku.
Malang: Al izzah
Analisis video
dengan teori terkait:
Mariam Dun, 22 tahun, bekerja sebagai teknisi pencarian di
Universitas Boston, asal Venezuela. Mariam mengalami fobia terhadap ular. Mariam
hampir tidak pernah kontak langsung dengan ular dan dia tidak tahu kenapa dia
bisa takut dengan ular. Saat ia menonton film dan melihat ada ular, dia akan
selalu menutup matanya, dan tidak mungkin dia akan melihat ular di kebun
binatang. Mariam juga sering bermimpi tentang ular.
Seorang psikolog klinis asal Sweden, Lars
Goran Ost, membantu Mariam untuk menghilangkan fobianya terhadap ular hanya
dengan waktu 3 jam. Ost menggunakan ular yang bernama Elf. Ost menggunakan
teknik terapi eksposur untuk menghilangkan fobia Mariam. Mariam setuju untuk
diberikan tritmen di depan teman-teman kuliahnya.
Ost melakukan wawancara dengan Mariam selama
kurang lebih 45 menit untuk mempersiapkan segala keperluan untuk tritmen yang
akan diberikan. Wawancara dilakukan untuk menentukan ketakutan terburuk yang
dimiliki Mariam, yang biasa disebut dengan catastrophic
belief. Catastrophic belief yang dimiliki adalah Mariam takut kalau ularnya
akan lepas kendali dan menghampiri dirinya dan dirinya tidak dapat melarikan
diri dan dia memiliki gagal jantung. Ketika ditanya berapa persen kemungkinan
dia akan mati ketika bertemu ular, dia menjawab sekitar 70%. Mariam menilai
kecemasannya dalam skala 0 sampai 100, kecemasan Mariam berada di sekitar 70-80. Dalam hal ini, Ost melakukan
prosedur pertama dalam teknik desensitisasi sistematis dimana Ost melakukan
tanya jawab mengenai ketakutan terburuk apa yang dimiliki Mariam sehingga Ost
bisa membuat hierarkis ketakutan Mariam yang selanjutnya dapat digunakan untuk
tritmen. Tetapi, Ost mengabaikan tahapan dimana Mariam diberikan relaksasi. Ost
tidak memberikan tahapan tersebut karena menurut Ost, tahapan tersebut tidak
terlalu menjadi penentu.
Tahapan dalam tritmen
yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Ost berdiri
memunggungi Mariam di depan pintu, sambil membawa Elf, Ost melakukannya selama 2 menit. Pada saat
itu Mariam berpikir ingin pergi meninggalkan ruangan tersebut karena ketakutan.
Tetapi Ost berpikir Mariam justru lebih kuat sekitar 25% pada saat itu.
2. Mariam
memperbolehkan Ost membalikkan badannya setelah 3 menit Ost berdiri memunggungi
Mariam sambil membawa Elf. Reaksi Mariam adalah dia mencoba untuk menutup
matanya dan selanjutnya dia menangis. Mariam menangis sambil gemetaran ketika
mencoba untuk melihat Elf.
3. Selanjutnya, Mariam
mulai berdiri dan tersenyum, karena tingkat kecemasannya mulai menurun. Mariam
memperbolehkan Ost dan Elf untuk masuk ke dalam ruangan setelah berjalan 8
menit sejak dimulainya tritmen. Mariam mulai menyadari bahwa catastrophic
beliefnya tidak terjadi.
4. Setelah 15 menit,
Ost duduk bersama Elf di tangannya. Mariam mulai cemas kembali dan Ost meminta
Mariam untuk bernapas secara perlahan dan santai.
5. Mariam mulai
mendekat ke arah Ost dan Elf, dan mulai merasa santai. Kecemasannya menurun. Mariam
duduk berhadapan dengan Ost dan Elf berjarak 3 meter. Setelah itu Mariam mencoba untuk lebih dekat
dengan Ost dan Elf.
6. Setelah hampir 1 jam
melakukan tritmen, Mariam mulai member nama untuk ular tersebut. Mariam menamai
ular dengan nama Elf.
7. Ost bertanya apakah
Maria mau menyentuh Elf, dan Mariam menjawab bahwa dia ada kepikiran seperti
itu. Dan setelah 1 jam, Mariam menyentuh Elf.
8. Selanjutnya, Ost
menaruh Elf di pangkuan Mariam. Setelah itu Ost melingkarkan Elf di sekitar
leher Mariam untuk diambil foto. Mariam juga membantu mengeluarkan Elf dari
lingkaran pinggang Ost. Dan mariam mengaku, dari situ kecemasan dia terhadap
ular menjadi 0.
Setelah tritmen
tersebut, Mariam jadi bisa melihat ular tanpa rasa takut dan cemas di jalanan,
di kebun binatang, di film-film. Setelah 2 bulan sejak tritmen dilakukan,
Mariam mengaku bahwa dia bermimpi tentang ular, tapi dia sudah tidak merasakan
rasa cemas sama sekali dan Mariam merasa sangat percaya diri dan tidak takut
lagi dengan ular.
0 komentar:
Posting Komentar