An ordinary blog from an ordinary girl

Welcome to my ordinary blog
Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Post Icon

Jenis-jenis Terapi pada 3 Mahzab Besar Psikologi (Psikoanalisa, Behavioristik, Humanistik)

Teknik-teknik Terapi Psikoanalisa

a.       Asosiasi Bebas
Asosiasi bebas merupakan teknik utama dalam psikoanalisa. Terapis meminta kepada klien agar membersihkan pikirannya dari  pemikiran dan renungan sehari-hari dan sebisa mungkin menyatakan apa saja yang terlintas dalam pemikirannya betapapun menyakitkan. Klien biasanya diminta untuk berbaring di sofa dan menghadap jauh dari terapis (Kring, Johnson,& Davison, 2012)
Asosiasi bebas adalah suatu metode pemanggilan kembali pengalaman-pengalaman masa lalu dan pelepasan emosi-emosi yang berkaitan dengan situasi traumatis dari masa lampau. Jadi dalam metode asosiasi bebas ini klien harus meninggalkan setiap sikap kritis terhadap fakta-fakta yang disadari dan mengatakan apa saja yang timbul dalam pemikirannya. Melalui asosiasi bebas, klien diminta untuk mengutarakan setiap pikiran yang muncul dalam benaknya, tanpa memandang apakah pikiran tersebut ada atau tidak ada hubungannya ataupun menimbulkan rasa jijik (Feist & Feist, 2014).
Selanjutnya Feist & Feist (2014) menjelaskan, tujuan dari asosiasi bebas adalah untuk  sampai ke alam tidak sadar dengan cara mulai dari ide yang disadari saat ini, menelusurinya melalui serangkaian asosiasi, dan mengikuti kemana ide tersebut pergi.
b.       Interpretasi
Menurut Kring, Johnson, & Davison (2012), dalam teknik interpretasi, terapis menunjukkan kepada klien arti dari perilaku tertentu yang klien lakukan. Mekanisme pertahanan diri adalah fokus utama dari teknik ini. Misalnya seorang pria yang memiliki masalah pada interaksi keintiman antar individu lain, dapat menunjukkan perilaku seperti melihat keluar jendela dan mengubah bahan obrolan tersebut selama sesi klienng.
Interpretasi adalah teknik yang digunakan terapis untuk menganalisis asosiasi bebas, mimpi, resistensi, dan transferensi klien. Sasaran dari penerapan teknik interpretasi adalah membuat ego mengasimilasikan material baru dan mempercepat proses-proses membuka material-material yang tidak disadari. Mengungkap apa yang terkandung dibalik apa yang dikatakan klien, baik dalam asosiasi bebas, mimpi, resistensi, dan transferensi klien.
c.       Analisis Mimpi
Digunakan untuk menilik masalah-masalah yang belum terpecahkan.Sasaran dari penerapan teknik analisis mimpi ini adalah membuka material tidak disadari dan memberi klien insight atas problem-problem yang tidak terselesaikan.Klien diminta untuk mengungkapkan tentang berbagai kejadian dalam mimpinya, dan terapis berusaha untuk menganalisisnya. 
Menurut Freud, mimpi memiliki dua taraf, yaitu isi laten dan isi manifes. Isi laten ini terdiri atas motif-motif yang disamarkan, tersembunyi, simbolik, dan tidak disadari. Karena begitu menyakitkan dan mengancam, maka seperti dorongan-dorongan seksual dan perilaku agresif yang tidak disadari ditransformasikan ke dalam isi manifes yang lebih dapat diterima, yaitu impian yang tampil pada si pemimpi dengan sebagaimana adanya (Feist & Feist, 2014).
Proses terjadinya mimpi adalah karena diwaktu tidur pertahanan ego menjadi lemah dan kompleks yang terdesakpun muncul ke permukaan. Oleh Freud, mimpi itu ditafsirkan sebagai jalan raya terhadap keinginan-keinginan dan kecemasan yang tidak disadari yang diekspresikan, karena melalui mimpi tersebut hasrat-hasrat, kebutuhan-kebutuhan, dan ketakutan tak sadar dapat diungkapkan. Pada teknik ini biasanya para psikoterapis memfokuskan mimpi-mimpi yang bersifat berulang, menakutkan, dan sudah pada taraf yang mengganggu. 
Tugas terapis adalah mengungkap makna-makna yang disamarkan dengan mempelajari simbol-simbol yang terdapat dalam isi manifest dari mimpi. Di dalam proses terapi, terapis juga dapat meminta klien untuk mengasosiasikan secara bebas sejumlah aspek isi manifes impian untuk mengungkap makna-makna yang terselubung dari mimpi yang dialami klien.
d.      Analisis dan Interpretasi Resistensi
Dalam klienng psikoanalisis, resistensi dimaknai sebagai penolakan atau hambatan yang melawan kelangsungan proses klienng, dimana klien berusaha untuk menunjukkan perilaku ketidaksediaan untuk masuk dalam pemikiran, perasaan-perasaan, dan pengalaman-pengalaman tertentu. Kemunculan perilaku ini pada diri klien merupakan bentuk pertahanan diri dari rasa cemas yang mendalam, dimana klien berusaha untuk menyembunyikan rasa cemas tersebut dengan cara berusaha untuk menghindar dari upaya yang dilakukan oleh terapis yang mengarahkan klien masuk dalam wilayah psikologis yang menjadi sumber kecemasannya (Kurnanto, 2013).
Analisis resistensi ditujukan untuk menyadarkan klien terhadap alasan-alasan terjadinya resistensi pada dirinya. Terapis meminta perhatian klien untuk menafsirkan resistensi tersebut. Terapis harus berusaha untuk mengarahkan klien dengan melakukan dialog dari hati ke hati agar klien dapat keluar dari situasi yang dijadikan sebagai “tameng” untuk masuk dalam persoalan yang sedang dihadapinya. Untuk melakukan hal ini, seorang terapis mesti menggunakan cara yang lemah lembut. Terapis tidak boleh mengecam atau memberikan label negatif terhadap perilaku yang menunjukkan resistensi tersebut (Kurnanto, 2013).
e.       Analisis dan Interpretasi Transferensi
Transferensi berarti proses pemindahan emosi-emosi yang terpendam atau ditekan sejak awal masa kanak-kanak oleh klien kepada terapis. Dalam keadaan neurosis, merupakan pemuasan libido klien yang diperoleh melalui mekanisme pengganti atau lewat kasih sayang yang melekat dan kasih sayang pengganti. Transferensi dinilai sebagai alat yang sangat berharga bagi terapis untuk menyelidiki ketidaksadaran pasien karena alat ini mendorong klien untuk menghidupkan kembali berbagai pengalaman emosional dari tahun-tahun awal kehidupannya (Kurnanto, 2013).
Transferensi bisa berupa perasaan dan harapan masa lalu. Dalam hal ini, klien diupayakan untuk menghidupkan kembali pengalaman dan konflik masa lalu terkait dengan cinta, seksualitas, kebencian, kecemasan yang oleh klien di bawa ke masa sekarang dan dilemparkan ke terapis. Biasanya klien bisa membenci atau mencintai terapis. Terapis mengusahakan agar klien mengembangkan transferensi-nya agar terungkap neurosisnya, terutama pada usia selama lima tahun pertama dalam hidupnya. Terapis menggunakan sifat-sifat netral, objektif, anonim, dan pasif agar terungkap transferensi tersebut.

Teknik-teknik Terapi Behavioristik
a.      Operant Conditioning
Prinsip-prinsip kunci dalam behavioral adalah penguatan positif, penguatan negatif, ekstinsi, hukuman positif dan hukuman negatif (Corey, 2005; Ivey, 1987; Lynn, 1985; Carlton, 1971). Tujuan dari program ini adalah untuk mengurangi atau menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan, penguatan positif sering digunakan untuk meningkatkan frekuensi perilaku yang lebih diinginkan, yang menggantikan perilaku yang tidak diinginkan. Penguatan negatif melibatkan melarikan diri dari atau menghindari rangsangan permusuhan. Individu termotivasi untuk menunjukkan perilaku yang diinginkan untuk menghindari kondisi yang tidak menyenangkan.

b.      Relaxation Training and Related Methods
Teknik yang dipakai untuk melatih klien agar melakukan relaksasi. Dalam pelaksanaannya terapis dapat memodifikasi teknik ini dengan systematic desentisization, asertion training, self management programs. Teknik ini tepat digunakan untuk terapi-terapi klinis (Corey, 2005; Ivey, 1987; Carlton, 1971). Tujuan pokok relaksasi adalah membantu orang menjadi rileks, dan dengan demikian dapat memperbaiki berbagai aspek kesehatan fisik. Membantu individu untuk dapat mengontrol diri dan memfokuskan perhatian sehingga ia dapat mengambil respon yang tepat saat berada dalam situasi yang menegangkan.

c.       Asesmen Fungsional
Merupakan blueprint bagi terapis dalam memberikan intervensi yang diperlukan oleh klien. Langkah-langkah yang disiapkan terapis dilakukan tahap demi tahap dalam memberikan perlakuan (Corey, 2005).

d.      Systematic Desentisization
Desensitisasi sistematik merupakan teknik spesifik pendekatan behavioristik. Sebagaimana mengutip Willis, desensitisasi sistematis yaitu teknik yang dikembangkan oleh Wolpe yang mengatakan bahwa semua perilaku neurotic adalah ekspresi dari kecemasan. Menurut Willis (2004: 96) desensitisasi sistematis adalah suatu teknik untuk mengurangi respon emosional yang menakutkan, mencemaskan atau tidak menyenangkan melalui aktivitas-aktivitas yang bertentangan dengan respon yang menakutkan itu. Desensitisasi sistematis juga melibatkan teknik-teknik relaksasi. teknik ini bermaksud untuk mengajarkan klien untuk dapat memberikan respons yang tidak konsisten terkait dengan kecemasan yang dialaminya. Teknik ini bermaksud untuk mengajarkan klien untuk dapat memberikan respon yang tidak konsisten terkait dengan kecemasan yang dialaminya.

e.       Exposure Therapy
Terapi ekposur adalah terapi dengan memaksimalkan kecemasan atau ketakutan klien (Corey,2005; Lynn  and Garske, 1985). Dua variasi dari terapi ini adalah invivo dan vivoflooding. Invivo pada terapi ini klien tidak disuruh untuk membayangkan situasi yang ditakutinya atau yang membangkitkan kecemasannya, tetapi klien dihadapkan langsung pada situasi itu. Terapis dan klien membuat hirarki kecemasan untuk melihat tingkat kecemasan yang dialami klien. Sedangkan vivoflooding, klien dilarang untuk berkecimpung dalam respon mereka yang biasa maladaptive ketika dalam situasi kecemasan. Vivoflooding cenderung mengurangi kecemasan dengan cepat.

f.       Eye Movement Desentisization and Reprocessing
Eye movement Desensitization and Reprocessing (EMDR) adalah salah satu bentuk psikoterapi yang pada awalnya dirancang untuk menghilangkan distress yang berkaitan dengan adanya pengalaman atau ingatan traumatik (Shapiro, 1989a, 1989b). 

g.      Self Management
Self management atau pengelolaan diri adalah suatu strategi pengubahan perilaku yang dalam prosesnya klien mengarahkan perubahan perilakunya sendiri dengan suatu teknik atau kombinasi teknik teurapetik (Cormier&Cormier, 1985: 519). Merriam & Caffarella (Knowles, 2003b:48) menyatakan bahwa pengarahan diri merupakan upaya individu untuk melakukan perencanaan, pemusatan perhatian, dan evaluasi terhadap aktivitas yang dilakukan. Di dalamnya terdapat kekuatan psikologis yang memberi arah pada individu untuk mengambil keputusan dan menentukan pilihannya serta menetapkan cara-cara yang efektif dalam mencapai tujuannya.

h.      Assertive Theraphy
Menurut Goldstein (1986) latihan asertif merupakan rangkuman yang sistematis dari ketrampilan, peraturan, konsep atau sikap yang dapat mengembangkan dan melatih kemampuan individu untuk menyampaikan pikiran, perasaan, keinginan dan kebutuhannya dengan penuh percaya diri dan kejujuran sehingga dapat berhubungan baik dengan lingkungan sosialnya.

Teknik Terapi Humanistik
Person-centred (terapi yang berpusat pada pribadi) merupakan model terapi yang dikembangkan oleh Carl R. Rogers. Pada mulanya dikembangkan sekitar tahun 1940 sebagai reaksi terhadap terapi pcychoanalytic. Dikenal juga sebagai model non-direktif namun kemudian berubah menjadi client-centred, hingga akhirnya person centred.
Dalam terapi yang berpusat pada pribadi ini, seseorang yang paling berperan penting adalah klien sendiri, dimana klien diharapkan dapat menemukan solusi atas permasalahan yang sedang klien hadapi. Oleh karena itu, dalam hal ini terapis hanya sebagai pendorong dan pencipta situasi-situasi yang memungkinkan klien untuk dapat berkembang sendiri.
Menurut Sukardi (2000), terapi yang berpusat pada pribadi atau terapi non-direktif adalah suatu teknik dalam terapi dimana yang menjadi pusatnya adalah klien, bukan terapis. Sedangkan menurut Rogers (dalam Latipun, 2001) terapi yang berpusat pada pribadi merupakan suatu teknik dalam bimbingan terapi yang memandang klien sebagai patner dalam memecahkan masalah. Dalam terapi, terapis lebih banyak memberikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan segala permasalahan, perasaan, persepsi, dan terapis hanya merefleksikan segala yang telah diungkapkan klien. Dengan begitu terapis dapat membantu klien untuk menemukan arti mengenai dirinya serta rencana-rencana hidup di masa yang akan datang.
Maka dapat kita simpulkan bahwa terapi yang berpusat pada pribadi (Person-centred) adalah suatu teknik terapi yang lebih menekankan pada aktifitas dan tanggung jawab klien sendiri, dengan kata lain sebagian besar proses terapi ini terpusat pada klien untuk memecahkan permasalahannya sendiri, dan terapis hanya sebagai patner dalam membantu merefleksikan sikap dan perasaan klien untuk meneukan cara terbaik dalam permasalahan klien.
























Sumber:
Rosjidan. (1988). Pengantar teori-teori klienng. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen DIKTI.
Surya, M. (1988). Dasar-dasar klienng pendidikan (teori & konsep). Yogyakarta: Kota Kembang.
Trull, T. J. (2005). Clinical psychology (7th edition). Belmont CA : Thomson Wadsworth.
Feist J & Feist, Gregory J. (2014). Theories of personality. Jakarta: Salemba Humanika.
Kring, Ann M., Johnson, Sheri L., Davison, G., & Neale, J. (2012). Abnormal psychology. United States: John Wiley & Sons, Inc.
Kurnanto, Edi M. (2013). Klienng kelompok. Bandung. Penerbit Alfabeta.
Hansen, J.C. (1982). Counseling theory and process. Boston : Allyn and Bacon,
Inc.
Latipun. (2001). Psikologi konseling. Malang: Universitas Muhammadiyah
Malang Press.
Sukardi, D.K. (2000). Pengantar pelaksanaan program bimbingan dan konseling
di sekolah. Jakarta : Rineka Cipta
Surya, M. (2003). Teori-teori konseling. Bandung : Pustaka Bani Quraisy
Willis, S.S. (2004). Konseling individu: teori dan praktek. Bandung : Alfabetha



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar