An ordinary blog from an ordinary girl

Welcome to my ordinary blog
Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Post Icon

Peran Psikoterapi dalam Kehidupan Masyarakat





Psikoterapi adalah usaha penyembuhan untuk masalah yang berkaitan dengan pikiran, perasaan dan perilaku. Psikoterapi (Psychotherapy) berasal dari dua kata, yaitu "Psyche" yang artinya jiwa, pikiran atau mental dan "Therapy" yang artinya penyembuhan, pengobatan atau perawatan. Oleh karena itu, psikoterapi disebut juga dengan istilah terapi kejiwaan, terapi mental, atau terapi pikiran.
Psikoterapi merupakan proses interaksi formal antara dua pihak atau lebih, yaitu antara klien dengan psikoterapis yang bertujuan memperbaiki keadaan yang dikeluhkan klien. Seorang psikoterapis dengan pengetahuan dan ketrampilan psikologisnya akan membantu klien mengatasi keluhan secara profesional dan legal.
Ada tiga ciri utama psikoterapi, yaitu:
1.                  Dari segi proses :  berupa interaksi antara dua pihak, formal, profesional, legal dan menganut kode etik psikoterapi.
2.                  Dari segi tujuan : untuk mengubah kondisi psikologis seseorang, mengatasi masalah psikologis atau meningkatkan potensi psikologis yang sudah ada.
3.                  Dari segi tindakan: seorang psikoterapis melakukan tindakan terapi berdasarkan ilmu psikologi modern yang sudah teruji efektivitasnya.

Peran dari psikoterapi adalah:

1. Membantu pasien untuk lebih memahami diri sendiri termasuk nilai dan tujuan hidup mereka.
Psikoterapi tidak hanya bertujuan untuk mengobati gangguan jiwa pasien tetapi psikoterapi memiliki tujuan yang jauh lebih penting, yaitu, agar pasien dapat menyelesaikan masalahnya sendiri di kemudian hari. Hal ini dapat dicapai jika pasien memiliki pemahaman yang lebih mendalam mengenai dirinya.

2. Mengajari pasien untuk memiliki keterampilan dalam hidup yang sangat penting agar dapat meningkatkan hubungan pribadi mereka.
Psikoterapi selain berfungsi untuk mengobati gangguan jiwa juga berfungsi untuk mengajarkan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan pasien untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di kemudian hari
3. Menolong pasien untuk menemukan solusi yang dapat menangani masalah mereka.
Seperti yang telah dijelaskan di poin pertama, psikoterapi yang baik seharusnya berfungsi untuk mengembangkan pasien menjadi individu yang lebih memahami dirinya sendiri sehingga dapat menangani masalahnya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain.

4. Menolong pasien untuk mengerti masalah mereka dan memahaminya dari sudut pandang yang berbeda.
Selain memahami dan menyelesaikan masalah pada diri sendiri, psikoterapi yang baik juga berfungsi agar pasien dapat menjalin hubungan yang lebiuh baik dengan orang lain. Dengan begitu, saat terjadi perselisihan atau masalah, pasien dapat menempatkan dirinya seebagai orang lain tersebut dan dapat memahaminya dari sudut pandang orang lain.

Sumber:

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Post Icon

Desentisisasi Sistematis dan Analisis Video

A. Konsep Dasar Teknik Desentisisasi Sistematis
Teknik desensitisasi sitematis merupakan salah satu teknik perubahan perilaku yang didasari oleh teori atau pendekatan behavioral klasikal. Pendekatan behavioral memandang manusia atau kepribadian manusia pada hakikatnya adalah perilaku yang dibentuk berdasarkan hasil pengalaman dari interaksi individu dengan lingkungannya. Perhatian behavioral adalah pada perilaku yang nampak, sehingga terapi tingkah laku mendasarkan diri pada penerapan teknik dan prosedur yang berakar pada teori belajar yakni menerapkan prinsip-prinsip belajar secara sistematis dalam proses perubahan perilaku menuju kearah yang lebih adaptif. Untuk menghilangkan kesalahan dalam belajar dan berperilaku serta untuk mengganti dengan pola-pola perilaku yang lebih dapat menyesuaikan. Salah satu aspek yang paling penting dalam memodifikasi perilaku adalah penekanannya pada tingkah laku yang didefinisikan secara operasional, teramati dan terukur.
Menurut sejarah teknik desensitisasi sitematis, Nietzel dan Berstein (1987) mengemukakan tentang latar belakang teknik ini antara lain tokoh Watson dan Rayner melihat bahwa rasa takut dipelajari lewat conditioning, demikian juga sebaliknya rasa takut dapat dihilangkan lewat counter conditioning-nya. Tahun 1920-an Johannes Schulz, psikolog Jerman, mengembangkan teknik “Autogenic Training” yang mengkombinasikan diagnosis, relaksasi dan autosugesti untuk konseli yang mengalami kecemasan. Tahun 1935 Guthrie mengemukakan beberapa teknik untuk menghapus kebiasaan maladaptive termasuk kecemasan; dengan menghadapkan individu yang mengalami phobia pada stimulus yang tidak dapat menimbulkan kecemasan secara gradual ditingkatkan ke stimulus yang lebih kuat menimbulkan ketakutan.
Desensitisasi Sistematis dikembangkan dalam tradisi behavioristik pada awal tahun 1950 oleh Joseph Wolpe.
Asumsi dasar teknik ini adalah respon ketakutan merupakan perilaku yang dipelajari dan dapat dicegah dengan menggantikan aktivitas yang berlawanan dengan respon ketakutan tersebut. Respon khusus yang dihambat oleh proses perbaikan (treatment) ini adalah kecemasan-kecemasan atau perasaan takut yang kurang beralasan; dan respon yang sering dijadikan pengganti atas kecemasan tersebut adalah relaksasi atau penenangan.
Ketidakpekaan dapat dibentuk dengan menunjukkan setiap individu, hal-hal kecil dan bertahap atas situasi ketakutan, saat orang tersebut menunjukkan aktivitasnya yang berlawanan dengan kekhawatirannya. Prinsip dasar desensitisasi adalah memasukkan suatu respon yang bertentangan dengan kecemasan yaitu relaksasi.

B. Karakteristik Teknik Desensitisasi Sistematis
1.      Adapun karakteristik atau ciri-ciri terapeutik teknik desensitisasi sistematis menurut pendekatan behavioral adalah :
2.      Merupakan suatu teknik melemahkan respon terhadap stimulus yang tidak menyenangkan dan mengenalkan stimulus yang berlawanan (menyenangkan).
3.      Penaksiran objektif atas hasil-hasil terapi.
4.      Merupakan perpaduan dari beberapa teknik

C. Tujuan Teknik Desensitisasi Sistematis
1.      Tujuan teknik desensitisasi sistematis adalah:
Teknik desensitisasi sistematis bermaksud mengajar konseli untuk memberikan respon yang tidak konsisten dengan kecemasan yang dialami konseli.
2.      Mengurangi sensitifitas emosional yang berkaitan dengan kelainan pribadi atau masalah sosial.

D. Asumsi Dasar Teknik Desensitisasi Sistematis
Teknik ini dipilih karena merupakan perpaduan dari teknik memikirkan sesuatu, menenangkan diri dan membayangkan sesuatu dengan memanfaatkan ketenangan jasmaniah konseli untuk melawan ketegangan jasmaniah konseli yang bila konseli berada dalam situasi yang menakutkan atau menegangkan sehingga sangat tepat untuk mengatasi gangguan kecemasan atau yang berhubungan dengan kelainan pribadi maupun masalah sosial.

E. Relevansi Teknik Desentisiasi Sistematis
Teknik desensitisasi sistematis dalam pelaksanaan terapinya tidak bisa atau harus menggunakan bantuan teknik lain di antaranya adalah teknik relaksasi dan teknik modelling. Menurut teknik relaksasi cara yang digunakan adalah dalam keadaan santai. Stimulus yang menimbulkan kecemasan dipasangkan dengan stimulus yang menimbulkan keadaan santai. Pemasangan secara berulang-ulang sehingga stimulus yang semula menimbulkan kecemasan hilang secara berangsur-angsur. Sedangkan menurut teknik modeling konselor diharapkan berperan sebagai model atau counter propagandis. Desensitisasi umumnya digunakan pada klien yang mengalami gangguan kecemasan, akan tetapi sebenarnya dapat juga digunakan untuk mengurangi kemarahan, mengatasi situasi sedih, dan berbagai rasa takut serta masalah-masalah sosial.

F. Prinsip Teknik Desensitisasi Sistematis
Berawal dari teori atau pendekatan konseling behavior focus perubahan tingkah laku terdiri dari 3 kategori, yaitu, memperkuat tingkah laku, modeling, dan melemagkan tingkah laku.
Dikarenakan teknik desensitisasi sistematis berawal dari pendekatan behavior, maka prinsip perubahan tingkah laku menurut teknik ini termasuk di dalam kategori melemahkan perilaku. Hal ini disebabkan, permasalahan yang bisa diatasi dengan menggunakan teknik desensitisasi sistematis seperti phobia, anxiety dan lain-lain tidak perlu untuk dihilangkan sepenuhnya dari diri seseorang. Setiap individu perlu tetap memiliki perasaan-perasaan seperti takut, cemas asal dalam batasan yang wajar atau normal. Jika individu tidak memiliki perasaan-perasaan seperti yang disebutkan di atas maka justru individu akan bermasalah atau tidak normal.

G. Prosedur Teknik desensitisasi Sistematis
1.      Analisis Perilaku yang menimbulkan masalah (kecemasan/ketakutan)
2.      Menyusun Hierarkhi atau jenjang-jenjang situasi yang menimbulkan masalah (ketakutan/kecemasan) dari yang kurang hingga yang paling mencemaskan klien.
3.      Memberi latihan-latihan relaksasi otot-otot yang dimulai dari lengan hingga otot kaki. Kaki klien diletakkan di atas bantal atau kain wool. Secara terinci relaksasi otot dimulai dari lengan, kepala, kemudian leher dan bahu, bagian belakang, perut dan dada, dan kemudian anggota bagian bawah.
4.      Klien diminta membayangkan situasi yang menyenangkannya seperti di pantai, di tengah taman yang hijau dan lain-lain.
5.      Klien disuruh memejamkan mata, kemudian disuruh membayangkan situasi yang kurang mencemaskan. Bila klien sanggup tanpa cemas atau gelisah, berarti situasi tersebut dapat diatasi klien. Demikian seterusnya hingga ke situasi yang paling mencemaskan.
6.      Bila pada suatu situasi klien merasa cemas/gelisah, konselor memerintahkan klien agar membayangkan situasi yang menyenangkan tadi untuk menghilangkan rasa kecemasan/ketakutan yang baru saja terjadi
7.      Menyusun Hierarki atau jenjang kecemasan harus bersama klien, dan konselor menuliskannya pada selembar kertas.

Daftar Pustaka:
Fauzan, L. (1994). Konseling individual. Malang: Elang Mas.

Rahmawati, H. (2009). Modifikasi perilaku. Malang: Al izzah





Analisis video dengan teori terkait:

Mariam Dun, 22 tahun,  bekerja sebagai teknisi pencarian di Universitas Boston, asal Venezuela. Mariam mengalami fobia terhadap ular. Mariam hampir tidak pernah kontak langsung dengan ular dan dia tidak tahu kenapa dia bisa takut dengan ular. Saat ia menonton film dan melihat ada ular, dia akan selalu menutup matanya, dan tidak mungkin dia akan melihat ular di kebun binatang. Mariam juga sering bermimpi tentang ular.
 Seorang psikolog klinis asal Sweden, Lars Goran Ost, membantu Mariam untuk menghilangkan fobianya terhadap ular hanya dengan waktu 3 jam. Ost menggunakan ular yang bernama Elf. Ost menggunakan teknik terapi eksposur untuk menghilangkan fobia Mariam. Mariam setuju untuk diberikan tritmen di depan teman-teman kuliahnya.
 Ost melakukan wawancara dengan Mariam selama kurang lebih 45 menit untuk mempersiapkan segala keperluan untuk tritmen yang akan diberikan. Wawancara dilakukan untuk menentukan ketakutan terburuk yang dimiliki Mariam, yang biasa disebut dengan catastrophic belief. Catastrophic belief yang dimiliki adalah Mariam takut kalau ularnya akan lepas kendali dan menghampiri dirinya dan dirinya tidak dapat melarikan diri dan dia memiliki gagal jantung. Ketika ditanya berapa persen kemungkinan dia akan mati ketika bertemu ular, dia menjawab sekitar 70%. Mariam menilai kecemasannya dalam skala 0 sampai 100, kecemasan Mariam berada di  sekitar 70-80. Dalam hal ini, Ost melakukan prosedur pertama dalam teknik desensitisasi sistematis dimana Ost melakukan tanya jawab mengenai ketakutan terburuk apa yang dimiliki Mariam sehingga Ost bisa membuat hierarkis ketakutan Mariam yang selanjutnya dapat digunakan untuk tritmen. Tetapi, Ost mengabaikan tahapan dimana Mariam diberikan relaksasi. Ost tidak memberikan tahapan tersebut karena menurut Ost, tahapan tersebut tidak terlalu menjadi penentu.

Tahapan dalam tritmen yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Ost berdiri memunggungi Mariam di depan pintu, sambil membawa  Elf, Ost melakukannya selama 2 menit. Pada saat itu Mariam berpikir ingin pergi meninggalkan ruangan tersebut karena ketakutan. Tetapi Ost berpikir Mariam justru lebih kuat sekitar 25% pada saat itu.
2. Mariam memperbolehkan Ost membalikkan badannya setelah 3 menit Ost berdiri memunggungi Mariam sambil membawa Elf. Reaksi Mariam adalah dia mencoba untuk menutup matanya dan selanjutnya dia menangis. Mariam menangis sambil gemetaran ketika mencoba untuk melihat Elf.
3. Selanjutnya, Mariam mulai berdiri dan tersenyum, karena tingkat kecemasannya mulai menurun. Mariam memperbolehkan Ost dan Elf untuk masuk ke dalam ruangan setelah berjalan 8 menit sejak dimulainya tritmen. Mariam mulai menyadari bahwa catastrophic beliefnya tidak terjadi.
4. Setelah 15 menit, Ost duduk bersama Elf di tangannya. Mariam mulai cemas kembali dan Ost meminta Mariam untuk bernapas secara perlahan dan santai.
5. Mariam mulai mendekat ke arah Ost dan Elf, dan mulai merasa santai. Kecemasannya menurun. Mariam duduk berhadapan dengan Ost dan Elf berjarak 3 meter.  Setelah itu Mariam mencoba untuk lebih dekat dengan Ost dan Elf.
6. Setelah hampir 1 jam melakukan tritmen, Mariam mulai member nama untuk ular tersebut. Mariam menamai ular dengan nama Elf.
7. Ost bertanya apakah Maria mau menyentuh Elf, dan Mariam menjawab bahwa dia ada kepikiran seperti itu. Dan setelah 1 jam, Mariam menyentuh Elf.
8. Selanjutnya, Ost menaruh Elf di pangkuan Mariam. Setelah itu Ost melingkarkan Elf di sekitar leher Mariam untuk diambil foto. Mariam juga membantu mengeluarkan Elf dari lingkaran pinggang Ost. Dan mariam mengaku, dari situ kecemasan dia terhadap ular menjadi 0.

Setelah tritmen tersebut, Mariam jadi bisa melihat ular tanpa rasa takut dan cemas di jalanan, di kebun binatang, di film-film. Setelah 2 bulan sejak tritmen dilakukan, Mariam mengaku bahwa dia bermimpi tentang ular, tapi dia sudah tidak merasakan rasa cemas sama sekali dan Mariam merasa sangat percaya diri dan tidak takut lagi dengan ular.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Post Icon

Jenis-jenis Terapi pada 3 Mahzab Besar Psikologi (Psikoanalisa, Behavioristik, Humanistik)

Teknik-teknik Terapi Psikoanalisa

a.       Asosiasi Bebas
Asosiasi bebas merupakan teknik utama dalam psikoanalisa. Terapis meminta kepada klien agar membersihkan pikirannya dari  pemikiran dan renungan sehari-hari dan sebisa mungkin menyatakan apa saja yang terlintas dalam pemikirannya betapapun menyakitkan. Klien biasanya diminta untuk berbaring di sofa dan menghadap jauh dari terapis (Kring, Johnson,& Davison, 2012)
Asosiasi bebas adalah suatu metode pemanggilan kembali pengalaman-pengalaman masa lalu dan pelepasan emosi-emosi yang berkaitan dengan situasi traumatis dari masa lampau. Jadi dalam metode asosiasi bebas ini klien harus meninggalkan setiap sikap kritis terhadap fakta-fakta yang disadari dan mengatakan apa saja yang timbul dalam pemikirannya. Melalui asosiasi bebas, klien diminta untuk mengutarakan setiap pikiran yang muncul dalam benaknya, tanpa memandang apakah pikiran tersebut ada atau tidak ada hubungannya ataupun menimbulkan rasa jijik (Feist & Feist, 2014).
Selanjutnya Feist & Feist (2014) menjelaskan, tujuan dari asosiasi bebas adalah untuk  sampai ke alam tidak sadar dengan cara mulai dari ide yang disadari saat ini, menelusurinya melalui serangkaian asosiasi, dan mengikuti kemana ide tersebut pergi.
b.       Interpretasi
Menurut Kring, Johnson, & Davison (2012), dalam teknik interpretasi, terapis menunjukkan kepada klien arti dari perilaku tertentu yang klien lakukan. Mekanisme pertahanan diri adalah fokus utama dari teknik ini. Misalnya seorang pria yang memiliki masalah pada interaksi keintiman antar individu lain, dapat menunjukkan perilaku seperti melihat keluar jendela dan mengubah bahan obrolan tersebut selama sesi klienng.
Interpretasi adalah teknik yang digunakan terapis untuk menganalisis asosiasi bebas, mimpi, resistensi, dan transferensi klien. Sasaran dari penerapan teknik interpretasi adalah membuat ego mengasimilasikan material baru dan mempercepat proses-proses membuka material-material yang tidak disadari. Mengungkap apa yang terkandung dibalik apa yang dikatakan klien, baik dalam asosiasi bebas, mimpi, resistensi, dan transferensi klien.
c.       Analisis Mimpi
Digunakan untuk menilik masalah-masalah yang belum terpecahkan.Sasaran dari penerapan teknik analisis mimpi ini adalah membuka material tidak disadari dan memberi klien insight atas problem-problem yang tidak terselesaikan.Klien diminta untuk mengungkapkan tentang berbagai kejadian dalam mimpinya, dan terapis berusaha untuk menganalisisnya. 
Menurut Freud, mimpi memiliki dua taraf, yaitu isi laten dan isi manifes. Isi laten ini terdiri atas motif-motif yang disamarkan, tersembunyi, simbolik, dan tidak disadari. Karena begitu menyakitkan dan mengancam, maka seperti dorongan-dorongan seksual dan perilaku agresif yang tidak disadari ditransformasikan ke dalam isi manifes yang lebih dapat diterima, yaitu impian yang tampil pada si pemimpi dengan sebagaimana adanya (Feist & Feist, 2014).
Proses terjadinya mimpi adalah karena diwaktu tidur pertahanan ego menjadi lemah dan kompleks yang terdesakpun muncul ke permukaan. Oleh Freud, mimpi itu ditafsirkan sebagai jalan raya terhadap keinginan-keinginan dan kecemasan yang tidak disadari yang diekspresikan, karena melalui mimpi tersebut hasrat-hasrat, kebutuhan-kebutuhan, dan ketakutan tak sadar dapat diungkapkan. Pada teknik ini biasanya para psikoterapis memfokuskan mimpi-mimpi yang bersifat berulang, menakutkan, dan sudah pada taraf yang mengganggu. 
Tugas terapis adalah mengungkap makna-makna yang disamarkan dengan mempelajari simbol-simbol yang terdapat dalam isi manifest dari mimpi. Di dalam proses terapi, terapis juga dapat meminta klien untuk mengasosiasikan secara bebas sejumlah aspek isi manifes impian untuk mengungkap makna-makna yang terselubung dari mimpi yang dialami klien.
d.      Analisis dan Interpretasi Resistensi
Dalam klienng psikoanalisis, resistensi dimaknai sebagai penolakan atau hambatan yang melawan kelangsungan proses klienng, dimana klien berusaha untuk menunjukkan perilaku ketidaksediaan untuk masuk dalam pemikiran, perasaan-perasaan, dan pengalaman-pengalaman tertentu. Kemunculan perilaku ini pada diri klien merupakan bentuk pertahanan diri dari rasa cemas yang mendalam, dimana klien berusaha untuk menyembunyikan rasa cemas tersebut dengan cara berusaha untuk menghindar dari upaya yang dilakukan oleh terapis yang mengarahkan klien masuk dalam wilayah psikologis yang menjadi sumber kecemasannya (Kurnanto, 2013).
Analisis resistensi ditujukan untuk menyadarkan klien terhadap alasan-alasan terjadinya resistensi pada dirinya. Terapis meminta perhatian klien untuk menafsirkan resistensi tersebut. Terapis harus berusaha untuk mengarahkan klien dengan melakukan dialog dari hati ke hati agar klien dapat keluar dari situasi yang dijadikan sebagai “tameng” untuk masuk dalam persoalan yang sedang dihadapinya. Untuk melakukan hal ini, seorang terapis mesti menggunakan cara yang lemah lembut. Terapis tidak boleh mengecam atau memberikan label negatif terhadap perilaku yang menunjukkan resistensi tersebut (Kurnanto, 2013).
e.       Analisis dan Interpretasi Transferensi
Transferensi berarti proses pemindahan emosi-emosi yang terpendam atau ditekan sejak awal masa kanak-kanak oleh klien kepada terapis. Dalam keadaan neurosis, merupakan pemuasan libido klien yang diperoleh melalui mekanisme pengganti atau lewat kasih sayang yang melekat dan kasih sayang pengganti. Transferensi dinilai sebagai alat yang sangat berharga bagi terapis untuk menyelidiki ketidaksadaran pasien karena alat ini mendorong klien untuk menghidupkan kembali berbagai pengalaman emosional dari tahun-tahun awal kehidupannya (Kurnanto, 2013).
Transferensi bisa berupa perasaan dan harapan masa lalu. Dalam hal ini, klien diupayakan untuk menghidupkan kembali pengalaman dan konflik masa lalu terkait dengan cinta, seksualitas, kebencian, kecemasan yang oleh klien di bawa ke masa sekarang dan dilemparkan ke terapis. Biasanya klien bisa membenci atau mencintai terapis. Terapis mengusahakan agar klien mengembangkan transferensi-nya agar terungkap neurosisnya, terutama pada usia selama lima tahun pertama dalam hidupnya. Terapis menggunakan sifat-sifat netral, objektif, anonim, dan pasif agar terungkap transferensi tersebut.

Teknik-teknik Terapi Behavioristik
a.      Operant Conditioning
Prinsip-prinsip kunci dalam behavioral adalah penguatan positif, penguatan negatif, ekstinsi, hukuman positif dan hukuman negatif (Corey, 2005; Ivey, 1987; Lynn, 1985; Carlton, 1971). Tujuan dari program ini adalah untuk mengurangi atau menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan, penguatan positif sering digunakan untuk meningkatkan frekuensi perilaku yang lebih diinginkan, yang menggantikan perilaku yang tidak diinginkan. Penguatan negatif melibatkan melarikan diri dari atau menghindari rangsangan permusuhan. Individu termotivasi untuk menunjukkan perilaku yang diinginkan untuk menghindari kondisi yang tidak menyenangkan.

b.      Relaxation Training and Related Methods
Teknik yang dipakai untuk melatih klien agar melakukan relaksasi. Dalam pelaksanaannya terapis dapat memodifikasi teknik ini dengan systematic desentisization, asertion training, self management programs. Teknik ini tepat digunakan untuk terapi-terapi klinis (Corey, 2005; Ivey, 1987; Carlton, 1971). Tujuan pokok relaksasi adalah membantu orang menjadi rileks, dan dengan demikian dapat memperbaiki berbagai aspek kesehatan fisik. Membantu individu untuk dapat mengontrol diri dan memfokuskan perhatian sehingga ia dapat mengambil respon yang tepat saat berada dalam situasi yang menegangkan.

c.       Asesmen Fungsional
Merupakan blueprint bagi terapis dalam memberikan intervensi yang diperlukan oleh klien. Langkah-langkah yang disiapkan terapis dilakukan tahap demi tahap dalam memberikan perlakuan (Corey, 2005).

d.      Systematic Desentisization
Desensitisasi sistematik merupakan teknik spesifik pendekatan behavioristik. Sebagaimana mengutip Willis, desensitisasi sistematis yaitu teknik yang dikembangkan oleh Wolpe yang mengatakan bahwa semua perilaku neurotic adalah ekspresi dari kecemasan. Menurut Willis (2004: 96) desensitisasi sistematis adalah suatu teknik untuk mengurangi respon emosional yang menakutkan, mencemaskan atau tidak menyenangkan melalui aktivitas-aktivitas yang bertentangan dengan respon yang menakutkan itu. Desensitisasi sistematis juga melibatkan teknik-teknik relaksasi. teknik ini bermaksud untuk mengajarkan klien untuk dapat memberikan respons yang tidak konsisten terkait dengan kecemasan yang dialaminya. Teknik ini bermaksud untuk mengajarkan klien untuk dapat memberikan respon yang tidak konsisten terkait dengan kecemasan yang dialaminya.

e.       Exposure Therapy
Terapi ekposur adalah terapi dengan memaksimalkan kecemasan atau ketakutan klien (Corey,2005; Lynn  and Garske, 1985). Dua variasi dari terapi ini adalah invivo dan vivoflooding. Invivo pada terapi ini klien tidak disuruh untuk membayangkan situasi yang ditakutinya atau yang membangkitkan kecemasannya, tetapi klien dihadapkan langsung pada situasi itu. Terapis dan klien membuat hirarki kecemasan untuk melihat tingkat kecemasan yang dialami klien. Sedangkan vivoflooding, klien dilarang untuk berkecimpung dalam respon mereka yang biasa maladaptive ketika dalam situasi kecemasan. Vivoflooding cenderung mengurangi kecemasan dengan cepat.

f.       Eye Movement Desentisization and Reprocessing
Eye movement Desensitization and Reprocessing (EMDR) adalah salah satu bentuk psikoterapi yang pada awalnya dirancang untuk menghilangkan distress yang berkaitan dengan adanya pengalaman atau ingatan traumatik (Shapiro, 1989a, 1989b). 

g.      Self Management
Self management atau pengelolaan diri adalah suatu strategi pengubahan perilaku yang dalam prosesnya klien mengarahkan perubahan perilakunya sendiri dengan suatu teknik atau kombinasi teknik teurapetik (Cormier&Cormier, 1985: 519). Merriam & Caffarella (Knowles, 2003b:48) menyatakan bahwa pengarahan diri merupakan upaya individu untuk melakukan perencanaan, pemusatan perhatian, dan evaluasi terhadap aktivitas yang dilakukan. Di dalamnya terdapat kekuatan psikologis yang memberi arah pada individu untuk mengambil keputusan dan menentukan pilihannya serta menetapkan cara-cara yang efektif dalam mencapai tujuannya.

h.      Assertive Theraphy
Menurut Goldstein (1986) latihan asertif merupakan rangkuman yang sistematis dari ketrampilan, peraturan, konsep atau sikap yang dapat mengembangkan dan melatih kemampuan individu untuk menyampaikan pikiran, perasaan, keinginan dan kebutuhannya dengan penuh percaya diri dan kejujuran sehingga dapat berhubungan baik dengan lingkungan sosialnya.

Teknik Terapi Humanistik
Person-centred (terapi yang berpusat pada pribadi) merupakan model terapi yang dikembangkan oleh Carl R. Rogers. Pada mulanya dikembangkan sekitar tahun 1940 sebagai reaksi terhadap terapi pcychoanalytic. Dikenal juga sebagai model non-direktif namun kemudian berubah menjadi client-centred, hingga akhirnya person centred.
Dalam terapi yang berpusat pada pribadi ini, seseorang yang paling berperan penting adalah klien sendiri, dimana klien diharapkan dapat menemukan solusi atas permasalahan yang sedang klien hadapi. Oleh karena itu, dalam hal ini terapis hanya sebagai pendorong dan pencipta situasi-situasi yang memungkinkan klien untuk dapat berkembang sendiri.
Menurut Sukardi (2000), terapi yang berpusat pada pribadi atau terapi non-direktif adalah suatu teknik dalam terapi dimana yang menjadi pusatnya adalah klien, bukan terapis. Sedangkan menurut Rogers (dalam Latipun, 2001) terapi yang berpusat pada pribadi merupakan suatu teknik dalam bimbingan terapi yang memandang klien sebagai patner dalam memecahkan masalah. Dalam terapi, terapis lebih banyak memberikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan segala permasalahan, perasaan, persepsi, dan terapis hanya merefleksikan segala yang telah diungkapkan klien. Dengan begitu terapis dapat membantu klien untuk menemukan arti mengenai dirinya serta rencana-rencana hidup di masa yang akan datang.
Maka dapat kita simpulkan bahwa terapi yang berpusat pada pribadi (Person-centred) adalah suatu teknik terapi yang lebih menekankan pada aktifitas dan tanggung jawab klien sendiri, dengan kata lain sebagian besar proses terapi ini terpusat pada klien untuk memecahkan permasalahannya sendiri, dan terapis hanya sebagai patner dalam membantu merefleksikan sikap dan perasaan klien untuk meneukan cara terbaik dalam permasalahan klien.
























Sumber:
Rosjidan. (1988). Pengantar teori-teori klienng. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen DIKTI.
Surya, M. (1988). Dasar-dasar klienng pendidikan (teori & konsep). Yogyakarta: Kota Kembang.
Trull, T. J. (2005). Clinical psychology (7th edition). Belmont CA : Thomson Wadsworth.
Feist J & Feist, Gregory J. (2014). Theories of personality. Jakarta: Salemba Humanika.
Kring, Ann M., Johnson, Sheri L., Davison, G., & Neale, J. (2012). Abnormal psychology. United States: John Wiley & Sons, Inc.
Kurnanto, Edi M. (2013). Klienng kelompok. Bandung. Penerbit Alfabeta.
Hansen, J.C. (1982). Counseling theory and process. Boston : Allyn and Bacon,
Inc.
Latipun. (2001). Psikologi konseling. Malang: Universitas Muhammadiyah
Malang Press.
Sukardi, D.K. (2000). Pengantar pelaksanaan program bimbingan dan konseling
di sekolah. Jakarta : Rineka Cipta
Surya, M. (2003). Teori-teori konseling. Bandung : Pustaka Bani Quraisy
Willis, S.S. (2004). Konseling individu: teori dan praktek. Bandung : Alfabetha



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS