Teknik-teknik Terapi Psikoanalisa
a.
Asosiasi Bebas
Asosiasi
bebas merupakan teknik utama dalam psikoanalisa. Terapis meminta kepada klien
agar membersihkan pikirannya dari
pemikiran dan renungan sehari-hari dan sebisa mungkin menyatakan apa
saja yang terlintas dalam pemikirannya betapapun menyakitkan. Klien biasanya
diminta untuk berbaring di sofa dan menghadap jauh dari terapis (Kring,
Johnson,& Davison, 2012)
Asosiasi
bebas adalah suatu metode pemanggilan kembali pengalaman-pengalaman masa lalu
dan pelepasan emosi-emosi yang berkaitan dengan situasi traumatis dari masa
lampau. Jadi dalam metode asosiasi bebas ini klien harus meninggalkan setiap
sikap kritis terhadap fakta-fakta yang disadari dan mengatakan apa saja yang
timbul dalam pemikirannya. Melalui asosiasi bebas, klien diminta untuk mengutarakan
setiap pikiran yang muncul dalam benaknya, tanpa memandang apakah pikiran
tersebut ada atau tidak ada hubungannya ataupun menimbulkan rasa jijik (Feist
& Feist, 2014).
Selanjutnya
Feist & Feist (2014) menjelaskan, tujuan dari asosiasi bebas adalah untuk sampai ke alam tidak sadar dengan cara mulai
dari ide yang disadari saat ini, menelusurinya melalui serangkaian asosiasi,
dan mengikuti kemana ide tersebut pergi.
b.
Interpretasi
Menurut
Kring, Johnson, & Davison (2012), dalam teknik interpretasi, terapis
menunjukkan kepada klien arti dari perilaku tertentu yang klien lakukan.
Mekanisme pertahanan diri adalah fokus utama dari teknik ini. Misalnya seorang
pria yang memiliki masalah pada interaksi keintiman antar individu lain, dapat
menunjukkan perilaku seperti melihat keluar jendela dan mengubah bahan obrolan
tersebut selama sesi klienng.
Interpretasi adalah teknik yang digunakan terapis untuk
menganalisis asosiasi bebas, mimpi, resistensi, dan transferensi klien. Sasaran
dari penerapan teknik interpretasi adalah membuat ego mengasimilasikan material baru dan
mempercepat proses-proses membuka material-material yang tidak disadari.
Mengungkap apa yang terkandung dibalik apa yang dikatakan klien, baik dalam asosiasi bebas,
mimpi, resistensi, dan transferensi klien.
c.
Analisis Mimpi
Digunakan untuk menilik masalah-masalah yang belum
terpecahkan.Sasaran dari penerapan teknik analisis mimpi ini adalah membuka
material tidak disadari dan memberi klien insight atas problem-problem yang
tidak terselesaikan.Klien diminta untuk mengungkapkan tentang berbagai kejadian
dalam mimpinya, dan terapis berusaha untuk menganalisisnya.
Menurut Freud, mimpi memiliki dua taraf, yaitu isi laten dan isi manifes. Isi laten ini terdiri atas motif-motif
yang disamarkan, tersembunyi, simbolik, dan tidak disadari. Karena begitu
menyakitkan dan mengancam, maka seperti dorongan-dorongan seksual dan perilaku
agresif yang tidak disadari ditransformasikan ke dalam isi manifes yang lebih
dapat diterima, yaitu impian yang tampil pada si pemimpi dengan sebagaimana
adanya (Feist & Feist, 2014).
Proses terjadinya mimpi adalah karena diwaktu tidur
pertahanan ego menjadi lemah dan kompleks yang terdesakpun muncul ke permukaan.
Oleh Freud, mimpi itu ditafsirkan sebagai jalan raya terhadap
keinginan-keinginan dan kecemasan yang tidak disadari yang diekspresikan,
karena melalui mimpi tersebut hasrat-hasrat, kebutuhan-kebutuhan, dan ketakutan
tak sadar dapat diungkapkan. Pada teknik ini biasanya para psikoterapis
memfokuskan mimpi-mimpi yang bersifat berulang, menakutkan, dan sudah pada
taraf yang mengganggu.
Tugas terapis adalah mengungkap makna-makna yang disamarkan
dengan mempelajari simbol-simbol yang terdapat dalam isi manifest dari mimpi.
Di dalam proses terapi, terapis juga dapat meminta klien untuk mengasosiasikan secara bebas sejumlah aspek isi manifes impian untuk mengungkap
makna-makna yang terselubung dari mimpi yang dialami klien.
d.
Analisis dan
Interpretasi Resistensi
Dalam klienng psikoanalisis, resistensi dimaknai sebagai
penolakan atau hambatan yang melawan kelangsungan proses klienng, dimana klien
berusaha untuk menunjukkan perilaku ketidaksediaan untuk masuk dalam pemikiran,
perasaan-perasaan, dan pengalaman-pengalaman tertentu. Kemunculan perilaku ini
pada diri klien merupakan bentuk pertahanan diri dari rasa cemas yang mendalam,
dimana klien berusaha untuk menyembunyikan rasa cemas tersebut dengan cara
berusaha untuk menghindar dari upaya yang dilakukan oleh terapis yang
mengarahkan klien masuk dalam wilayah psikologis yang menjadi sumber
kecemasannya (Kurnanto, 2013).
Analisis resistensi ditujukan untuk menyadarkan klien terhadap alasan-alasan
terjadinya resistensi pada dirinya. Terapis meminta perhatian klien untuk
menafsirkan resistensi tersebut. Terapis harus berusaha untuk mengarahkan klien
dengan melakukan dialog dari hati ke hati agar klien dapat keluar dari situasi
yang dijadikan sebagai “tameng” untuk
masuk dalam persoalan yang sedang dihadapinya. Untuk melakukan hal ini, seorang
terapis mesti menggunakan cara yang lemah lembut. Terapis tidak boleh mengecam
atau memberikan label negatif terhadap perilaku yang menunjukkan resistensi
tersebut (Kurnanto, 2013).
e.
Analisis dan
Interpretasi Transferensi
Transferensi berarti proses pemindahan emosi-emosi yang
terpendam atau ditekan sejak awal masa kanak-kanak oleh klien kepada terapis.
Dalam keadaan neurosis, merupakan pemuasan libido klien yang diperoleh melalui
mekanisme pengganti atau lewat kasih sayang yang melekat dan kasih sayang
pengganti. Transferensi dinilai sebagai alat yang sangat berharga bagi terapis
untuk menyelidiki ketidaksadaran pasien karena alat ini mendorong klien untuk
menghidupkan kembali berbagai pengalaman emosional dari tahun-tahun awal
kehidupannya (Kurnanto, 2013).
Transferensi bisa berupa perasaan dan harapan masa lalu.
Dalam hal ini, klien diupayakan untuk menghidupkan kembali pengalaman dan
konflik masa lalu terkait dengan cinta, seksualitas, kebencian, kecemasan yang
oleh klien di bawa ke masa sekarang dan dilemparkan ke terapis. Biasanya klien
bisa membenci atau mencintai terapis. Terapis mengusahakan agar klien
mengembangkan transferensi-nya agar terungkap neurosisnya, terutama pada usia
selama lima tahun pertama dalam hidupnya. Terapis menggunakan sifat-sifat
netral, objektif, anonim, dan pasif agar terungkap transferensi tersebut.
Teknik-teknik Terapi Behavioristik
a.
Operant Conditioning
Prinsip-prinsip
kunci dalam behavioral adalah penguatan positif, penguatan negatif, ekstinsi,
hukuman positif dan hukuman negatif (Corey, 2005; Ivey, 1987; Lynn, 1985;
Carlton, 1971). Tujuan dari program ini adalah untuk mengurangi atau
menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan, penguatan positif sering
digunakan untuk meningkatkan frekuensi perilaku yang lebih diinginkan, yang
menggantikan perilaku yang tidak diinginkan. Penguatan negatif melibatkan
melarikan diri dari atau menghindari rangsangan permusuhan. Individu
termotivasi untuk menunjukkan perilaku yang diinginkan untuk menghindari
kondisi yang tidak menyenangkan.
b.
Relaxation Training and Related Methods
Teknik yang dipakai untuk melatih klien agar
melakukan relaksasi. Dalam pelaksanaannya terapis dapat memodifikasi teknik ini
dengan systematic desentisization, asertion training, self management programs. Teknik ini tepat digunakan untuk
terapi-terapi klinis (Corey, 2005; Ivey, 1987; Carlton, 1971). Tujuan pokok
relaksasi adalah membantu orang menjadi rileks, dan dengan demikian dapat
memperbaiki berbagai aspek kesehatan fisik. Membantu individu untuk dapat
mengontrol diri dan memfokuskan perhatian sehingga ia dapat mengambil respon
yang tepat saat berada dalam situasi yang menegangkan.
c. Asesmen Fungsional
Merupakan blueprint
bagi terapis dalam memberikan intervensi yang diperlukan oleh klien.
Langkah-langkah yang disiapkan terapis dilakukan tahap demi tahap dalam
memberikan perlakuan (Corey, 2005).
d.
Systematic Desentisization
Desensitisasi
sistematik merupakan teknik spesifik pendekatan behavioristik. Sebagaimana
mengutip Willis, desensitisasi sistematis yaitu teknik yang dikembangkan oleh
Wolpe yang mengatakan bahwa semua perilaku neurotic adalah ekspresi dari
kecemasan. Menurut Willis (2004: 96)
desensitisasi sistematis adalah suatu teknik untuk mengurangi respon emosional
yang menakutkan, mencemaskan atau tidak menyenangkan melalui
aktivitas-aktivitas yang bertentangan dengan respon yang menakutkan itu.
Desensitisasi sistematis juga melibatkan teknik-teknik relaksasi. teknik ini
bermaksud untuk mengajarkan klien untuk dapat memberikan respons yang tidak
konsisten terkait dengan kecemasan yang dialaminya. Teknik ini bermaksud untuk
mengajarkan klien untuk dapat memberikan respon yang tidak konsisten terkait
dengan kecemasan yang dialaminya.
e.
Exposure Therapy
Terapi ekposur adalah terapi dengan memaksimalkan
kecemasan atau ketakutan klien (Corey,2005; Lynn and Garske, 1985). Dua variasi dari terapi
ini adalah invivo dan vivoflooding.
Invivo pada terapi ini klien tidak disuruh untuk membayangkan situasi yang
ditakutinya atau yang membangkitkan kecemasannya, tetapi klien dihadapkan
langsung pada situasi itu. Terapis dan klien membuat hirarki kecemasan untuk
melihat tingkat kecemasan yang dialami klien. Sedangkan vivoflooding, klien dilarang untuk berkecimpung dalam respon mereka
yang biasa maladaptive ketika dalam situasi kecemasan. Vivoflooding cenderung mengurangi kecemasan dengan cepat.
f.
Eye Movement Desentisization and Reprocessing
Eye movement Desensitization and
Reprocessing (EMDR) adalah salah
satu bentuk psikoterapi yang pada awalnya dirancang untuk menghilangkan
distress yang berkaitan dengan adanya pengalaman atau ingatan traumatik
(Shapiro, 1989a, 1989b).
g.
Self Management
Self management atau pengelolaan diri adalah suatu strategi
pengubahan perilaku yang dalam prosesnya klien mengarahkan perubahan
perilakunya sendiri dengan suatu teknik atau kombinasi teknik teurapetik
(Cormier&Cormier, 1985: 519). Merriam & Caffarella (Knowles, 2003b:48)
menyatakan bahwa pengarahan diri merupakan upaya individu untuk melakukan
perencanaan, pemusatan perhatian, dan evaluasi terhadap aktivitas yang
dilakukan. Di dalamnya terdapat kekuatan psikologis yang memberi arah pada
individu untuk mengambil keputusan dan menentukan pilihannya serta menetapkan
cara-cara yang efektif dalam mencapai tujuannya.
h.
Assertive Theraphy
Menurut
Goldstein (1986) latihan asertif merupakan rangkuman yang sistematis dari
ketrampilan, peraturan, konsep atau sikap yang dapat mengembangkan dan melatih
kemampuan individu untuk menyampaikan pikiran, perasaan, keinginan dan kebutuhannya
dengan penuh percaya diri dan kejujuran sehingga dapat berhubungan baik dengan
lingkungan sosialnya.
Teknik Terapi Humanistik
Person-centred (terapi yang berpusat pada pribadi) merupakan model
terapi yang dikembangkan oleh Carl R. Rogers. Pada mulanya dikembangkan sekitar
tahun 1940 sebagai reaksi terhadap terapi pcychoanalytic.
Dikenal juga sebagai model non-direktif namun kemudian berubah menjadi client-centred, hingga akhirnya person centred.
Dalam terapi yang berpusat pada pribadi ini,
seseorang yang paling berperan penting adalah klien sendiri, dimana klien
diharapkan dapat menemukan solusi atas permasalahan yang sedang klien hadapi.
Oleh karena itu, dalam hal ini terapis hanya sebagai pendorong dan pencipta
situasi-situasi yang memungkinkan klien untuk dapat berkembang sendiri.
Menurut Sukardi (2000), terapi yang berpusat pada
pribadi atau terapi non-direktif adalah suatu teknik dalam terapi dimana yang
menjadi pusatnya adalah klien, bukan terapis. Sedangkan menurut Rogers (dalam
Latipun, 2001) terapi yang berpusat pada pribadi merupakan suatu teknik dalam
bimbingan terapi yang memandang klien sebagai patner dalam memecahkan masalah. Dalam terapi, terapis lebih banyak
memberikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan segala permasalahan,
perasaan, persepsi, dan terapis hanya merefleksikan segala yang telah
diungkapkan klien. Dengan begitu terapis dapat membantu klien untuk menemukan
arti mengenai dirinya serta rencana-rencana hidup di masa yang akan datang.
Maka dapat kita simpulkan bahwa terapi yang berpusat
pada pribadi (Person-centred) adalah
suatu teknik terapi yang lebih menekankan pada aktifitas dan tanggung jawab
klien sendiri, dengan kata lain sebagian besar proses terapi ini terpusat pada
klien untuk memecahkan permasalahannya sendiri, dan terapis hanya sebagai
patner dalam membantu merefleksikan sikap dan perasaan klien untuk meneukan
cara terbaik dalam permasalahan klien.
Sumber:
Rosjidan. (1988).
Pengantar teori-teori klienng.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen DIKTI.
Surya, M. (1988).
Dasar-dasar klienng pendidikan (teori
& konsep). Yogyakarta: Kota Kembang.
Trull, T. J.
(2005). Clinical psychology (7th
edition). Belmont CA : Thomson Wadsworth.
Feist J & Feist, Gregory J.
(2014). Theories of personality.
Jakarta: Salemba Humanika.
Kring, Ann M., Johnson, Sheri L., Davison,
G., & Neale, J. (2012). Abnormal
psychology. United States: John Wiley & Sons, Inc.
Kurnanto, Edi M. (2013). Klienng kelompok.
Bandung. Penerbit Alfabeta.
Hansen,
J.C. (1982). Counseling theory and process.
Boston : Allyn and Bacon,
Inc.
Latipun.
(2001). Psikologi konseling. Malang:
Universitas Muhammadiyah
Malang
Press.
Sukardi, D.K. (2000). Pengantar pelaksanaan program bimbingan dan
konseling
di
sekolah. Jakarta : Rineka Cipta
Surya, M. (2003). Teori-teori konseling. Bandung : Pustaka
Bani Quraisy
Willis, S.S. (2004). Konseling individu: teori dan praktek.
Bandung : Alfabetha